Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Optimisme Swasembada Pangan Era Prabowo?

Ahmad Tusi, Ph.D.


Presiden Prabowo Subianto telah menargetkan Indonesia mencapai swasembada pangan dalam empat hingga lima tahun lagi. Fokus swasembada pangan di era kepemimpinannya adalah swasembada beras, jagung, dan gula.  Kabinet yang telah dibentuknya pun siap menjalankan program strategis ini. Kementerian Pertanian menyatakan kesiapan dan optimistis dengan rencana program swasembada pangan yang telah dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Kementan pun telah melakukan gerak cepak di bawah komado Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, dengan melakukan kerjasama dan kolaborasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan beberapa Badan Usaha Milik Negara.  

Kondisi riil sektor pangan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo selama satu dekade keamrin masih jauh dari harapan dan tertatih-tatih dalam upaya mewujudkan swasembada pangan. Sebaliknya, impor pangan justru semakin membengkak. Padahal beliau menyatakan dengan optimis bahwa swasembada beras akan tercapai dalam 2-3 tahun ke depan (2017 atau 2018). Namun fakta berbicara lain, Indonesia mengimpor beras masing-masing sebanyak 1,2 dan 2,2 juta ton secara berurutan. Sekarang kita akan melihat sejauh mana keterwujudan dari optimisme swasembada pangan di era Presiden Prabowo Subianto.  Pada tulisan ini, penulis mencoba menganalisis dan sumbang pikiran terkait bagaimana mewujudkan swasembada pangan di negeri ini.

Upaya untuk mewujudkan swasembada pangan dalam kurun waktu 5 tahun bukanlah perkara mudah.  Ini memerlukan pemikiran dan kerja yang luar biasa karena banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, mulai dari ketersediaan lahan (redistribusi lahan, penyelesaian konflik agrarian) dan persoalan ketersediaan sdm (regenerasi petani di negeri ini).

Kepemilikan lahan kurang 0,5 hektar dan berusia tua (ini perlu penyelesaian solusi à seperti: penetapan lahan pertanian abadi, regenerasi petani, penggunaan teknologi, peningkatan SDM sektor pertanian; ketersediaan benih unggul; sumber air dan ketersediaan jaringan irigasi yang handal; serta ketersediaan pupuk dan distribusinya yang baik.

Adapun program strategis yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Pertanian untuk menambah produksi beras hingga jutaan ton per tahun adalah sbb: program pompanisasi; Optimalisasi lahan rawa; dan Cetak sawah baru

Kementan menargetkan produksi beras pada 2025 bertambah sebesar 2,5 juta ton melalui upaya pompanisasi 1 juta hektar sawah, optimalisasi lahan rawa, dan mencetak 1 juta hektar sawah baru.  Pada tahun 2026, Kementan akan melanjtkan cetak sawah dan memperbaiki saluran-saluran irigasi yang mengampu 1 juta hektar sawah.  Produksi beras ditargetkan melonjak hingga 5 juta ton.  Pada tahun 2027, produksi beras ditargetkan dapat meningkat 10 juta ton melalui cetak sawah dan perbaikan irigasi di area yang sama.

Terdapat beberapa hal yang perlu menjadi fokus pekerjaan rumah dalam upaya swasembada pangan ini, mulai dari penyiapan infrastruktur jaringan irigasi yang baik dan memadai untuk mendukung program ini. Maka Kementerian Pekerjaan Umum harus menyiapkan jaringan irigasi yang memadai dalam kurun waktu dekat ini. Selain itu, dukungan penyediaan benih unggul melalui Perusahaan BUMN tentu menjadi hal yang sangat penting untuk menghasilkan produktivitas tinggi dan berkualitas ; serta dukungan penyediaan pupuk mulai dari stok ketersediaan dan distribusi yang mantap hingga Tingkat petani.  Ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi PT Pupuk Indonesia (Persero) untuk melakukan pembenahan dan perbaikan ke depannya.

Secara teknis program swasembada dapat dicapai dengan dua cara, yaitu: intensifikasi dan ekstensifikasi.

Pertama, intensifikasi dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan-lahan tanaman pangan yang sudah ada melalui kegiatan pompanisasi (yang sedang gencar dilakukan oleh Kementan saat ini); dan mengoptimalkan lahan rawa seluas 360.000 ha. Adapun program kedua, ekstensifikasi lahan dapat dilakukan dengan mencetak sawah-sawah baru.  Pemerintah saat ini menargetkan mencetak sawah baru seluas 3 juta hektar di beberapa daerah di luar Pulau Jawa, misalnya di Merauke ditargetkan seluas 1 juta hektar, Kalimantan Tengah seluas 500.000 ha, dan Kalimantan Selatan seluas 300.000 ha, serta sisanya masing-masing seluas 200.000 ha dicetak didaerah Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, dan Aceh.

Optimalisasi lahan menjadi opsi yang sangat penting ketika alih fungsi lahan sawah di negeri ini masih terus berlangsung, dimana rata-rata konversi lahan sawah menjadi non sawah mencapai 100.000 hektar per tahun sementara kemampuan mencetak sawah hanya sekitar 60.000 hektar setahun (Kompas, 12/10/2023). Jika hal ini terus dibiarkan, maka ketersediaan lahan sawah Indonesia hanya akan tersisa 6,5 juta hektar tahun 2030. Hal ini akan berdampak kepada kemampuan negara dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya di masa depan.  Kondisi ini tentu harus disikapi pemerintah dengan serius.  Langkah pemerintah untuk menjaga lahan sawah dengan melahirkan UU Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) Tahun 2009. Namun, hingga tahun 2019 belum ada separuh total kabupaten/kota di Indonesia yang sudah menetapkan LP2B dalam Perda RTRW (44,29 persen).  Lebih dari itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mengoptimalkan lahan-lahan tidur yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya pertanian.  Data statistik lahan pertanian yang disusun BPS mencatat terdapat sekitar 11,7 juta hektar lahan yang untuk sementara tidak diusahakan di tahun 2019.  Artinya, ini ada peluang besar untuk mencetak lahan sawah baru untuk meningkatkan produksi padi di tengah masifnya alih fungsi lahan. Pada tahun 2030 dibutuhkan lahan sawah seluas 8,1 juta hektar untuk dapat mengasilkan 35,5 juta ton beras; dan produksi ini akan mampu mencukupi kebutuhan 300 juta jiwa dengan kebutuhan beras mencapai 34,2 juta ton (Direktorat Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kompas, 13/10/2023).   Namun tentu saja tidak semua lahan tersebut berpotensi untuk pertanian padi, misalnya karena sifat tanahnya yang tidak sesuai.  Oleh karena itu perlu dilakukan pendataan yang lengkap terkait potensi lahan ini dan didukung dengan sistem pengairan yang mampu mendukung budidaya pertanian.

Swasembada pangan dalam jangka panjang memang perlu dicapai di negeri ini.  Namun, tidak cukup hanya sekedar mencetak sawah baru dan meningkatkan produksi tanpa henti, tetapi Kesehatan lahan pertanian juga perlu diperhatikan.  Jadi peningkatan luas areal lahan sawah dan produktivitas perlu dibarengi dengan praktik-praktik pertanian yang baik dan berkelanjutan.  Sebesar 89,54 persen lahan pertanian di Indonesia berstatus tidak berkelanjutan dengan kapasitas produksi yang berkurang signifikan (Kompas, 5/10/2024). Berdasarkan data produktivitas padi nasional untuk kurun waktu 2018-2023 dalam fase levelling off atau pertumbuhan yang mendatar sekitar 5 persen, dengan nilai rata-rata produktivitas padi sebesar 5,17 ton per hektar (2018-2021).  Kemudian pada tahun 2022 dan 2023 hanya naik tipis masing-masing menjadi 5,24 dan 5,26 ton per hektar.  Mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu salah satu faktornya adalah kondisi lahan pertanian kita yang mulai “sakit” atau berkurang tingkat kesuburannya. Oleh karena itu, perlu menggencarkan praktik-praktik pertanian baik, seperti mengistirahatkan lahan (jeda tanaman), penerapan pertanian organic, dll.  Terkait hal ini, Allah SWT, , Pencipta alam semesta dan Pengatur kehidupan,  telah mengingatkan kita semua tentang pentingnya lahan yang subur dan sehat untuk menunjang pertumbuhan dan produktivitas tanaman seperti termaktub dalam al-Qur’an:

وَٱلْبَلَدُ ٱلطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُۥ بِإِذْنِ رَبِّهِۦ ۖ وَٱلَّذِى خَبُثَ لَا يَخْرُجُ إِلَّا نَكِدًا ۚ كَذَٰلِكَ نُصَرِّفُ ٱلْءَايَٰتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُونَ

“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” – QS. Al-A’raf: 58 –

Namun hal-hal teknis yang disebutkan di atas tentunya perlu dukungan besar dan kemauan yang kuat dari negara untuk menjamin keberadaan lahan-lahan pertanian yang tersedia di negeri ini (termasuk yang sedang dicetak sawah baru) agar tetap produktif, sehingga dapat memenuhi kebutuhan rakyatnya.  Terkait hal ini, kita bisa berkaca dengan Sistem Islam Ketika mampu menjaga dan menjamin keberlangsungan produktivitas lahan pertanian.

Dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan tanah kepada orang-orang dari Muzainah atau Juhainah dan mereka telantarkan. Lalu datang kaum lain dan mereka hidupkan tanah tersebut. Kemudian Umar berkata, “Andai tanah itu pemberian dariku atau dari Abu Bakar, niscaya aku kembalikan, tetapi ia dari Rasulullah saw.” Amru bin Syu’aib berkata:  Umar berkata, “Siapa saja yang menelantarkan tanah tiga tahun, tidak dia makmurkan, lalu datang orang lainnya dan memakmurkanya, maka tanah itu menjadi miliknya.”

Hal serupa juga dituturkan oleh Abdullah bin Abu Bakar:  Bilal bin al-Harits al-Muzani pernah datang kepada Rasulullah saw. dan meminta diberi tanah. Lalu beliau memberi dia tanah yang luas. Ketika Umar diangkat menjadi khalifah, ia berkata kepada Bilal: “Bilal, sungguh kamu telah meminta tanah yang luas kepada Rasulullah saw., lalu beliau memberikan tanah kepadamu. Sungguh beliau tidak menahan sesuatu yang diminta dari beliau, sedangkan kamu tidak mampu menggarap apa (tanah) yang ada di tanganmu.” Dia berkata: “Baiklah”. Lalu Umar berkata, “Lihatlah dari tanah itu. Yang mampu kamu garap, pertahankanlah, dan yang tiak mampu kamu garap, serahkan kepada kami. (Tanah itu) akan kami bagi di antara kaum Muslim.” Bilal berkata, “Aku tidak mau melakukan itu, Demi Allah, itu sesuatu yang telah Rasululllah berikan kepadaku.” Umar berkata, “Demi Allah, sungguh kamu harus melakukannya.” Lalu Umar mengambil bagian tanah yang tidak mampu dimakmurkan oleh Bilal dan Umar membagikan bagian tanah tersebut di antara kaum Muslim (HR Yahya bin Adam hadis no. 294 di dalam al-Kharâj; Ibnu Syabbah di dalam Târîkh al-Madînah li Ibni Syabbah; Al-Baihaqi no. 11825 di dalam Sunan al-Kubrâ).

Tampak peristiwa dalam hadis di atas terjadi satu tahun atau lebih sejak Umar menjadi khalifah. Ucapan Umar, “Andai tanah itu pemberian dariku atau dari Abu Bakar, niscaya aku kembalikan, tetapi dari Rasulullah saw.,” menunjukkan bahwa tanah itu telah ditelantarkan lebih dari tiga tahun berturut-turut sehingga Umar tidak dapat mengembalikan tanah itu kepada orang Juhainah atau Muzainah. Hal itu karena ketentuan hukum yang disebutkan dalam ucapan Umar selanjutnya, yakni bahwa orang yang menelantarkan tanahnya tiga tahun berturut-turut hilang kepemilikannya atas tanah itu. Lalu jika ada orang lain yang memakmurkan tanah itu maka tanah itu menjadi milik orang itu.

Tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya tiga tahun berturut-turut atau lebih itu diambil oleh Khalifah, yakni oleh Negara (Khilafah). Khilafah  memberikan tanah itu kepada orang lain yang sanggup memakmurkannya. Ini ditegaskan dalam hadis Bilal bin Haris al-Muzani di atas. Peristiwa itu diketahui oleh para Sahabat dan tidak ada yang mengingkari. Dengan demikian ketentuan itu menjadi Ijmak Sahabat dalam bentuk ijmak sukûti.

Dari kebijakan yang telah dicontohkan dalam Sistem Islam ini, Terdapat poin penting yang perlu digaris tebal bahwa pada hadits-hadits tersebut mengisyaratkan bahwa:

  • Tanah itu hukum asalnya harus dimakmurkan, yakni dimanfaatkan atau diproduktifkan. Tidak boleh ditelantarkan. Bahkan penelantaran tanah tiga tahun berturut-turut atau lebih menjadi sebab atau ‘illat hilangnya kepemilikan atas tanah.
  • Negara harus menjamin agar tanah-tanah yang ada tidak ditelantarkan. Caranya dengan mengambil tanah terlantar dan memberikan tanah tersebut kepada orang yang sanggup memakmurkannya. Itu juga menuntut hal-hal lain agar ketentuan itu dapat dilaksanakan termasuk perkara administratif seperti pencatatan, dokumentasi, data kepemilikan tanah, dsb.
  • Negara dapat memberikan bantuan kepada para pemilik tanah agar dapat memakmurkan atau memproduktifkan tanahnya, termasuk untuk pertanian dan produksi pangan. Hal itu seperti yang dilakukan Umar bin al-Khaththab kepada para petani di Irak, Beliau memberi—dalam satu riwayat meminjami—mereka  harta dari Baitul Mal untuk modal bercocok tanam. Hal itu diketahui oleh para Sahabat dan tidak ada seorang pun yang mengingkari. Dengan demikian ini pun menjadi Ijmak Sahabat atas kebolehan hal itu dilakukan oleh Khalifah atau Negara.

Dengan ketentuan ini, tanah-tanah yang ada tidak akan terlantar dan sebaliknya akan dimanfaatkan dan diproduktifkan, termasuk untuk pertanian dan produksi pangan. Dengan itu keberlangsungan produktivitas tanah dapat dijamin dan ketahanan pangan juga dapat diwujudkan. [AT]

Post a Comment for "Optimisme Swasembada Pangan Era Prabowo?"