Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ramadhan: Hadirkan Ketakwaan yang Hakiki dan Prima

Ahmad Tusi, Ph.D.


 

Sahabat-sahabat Agrtusi sekalian yang dimuliakan Allah

Hikmah terbesar yang Allah tetapkan di dalam menjalankan kewajiban berpuasa adalah takwa sebagaimana Allah nyatakan di dalam surat Al-baqarah: 183

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa


Kenapa takwa merupakan hikmah terbesar?  karena takwa itu adalah pondasi hidup seorang Muslim.  Di dalam Quran (QS. At-Taubah 109) ketika Allah berbicara tentang bangunan.  Allah bercerita tentang bagaimana bangunan yang dibangun dengan dasar takwa

أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَٰنَهُۥ عَلَىٰ تَقْوَىٰ مِنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَٰنَهُۥ عَلَىٰ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَٱنْهَارَ بِهِۦ فِى نَارِ جَهَنَّمَ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Takwa adalah pondasi karena itu hikmah yang terbesar yang kita dapatkan ketika kita menjalankan puasa itu adalah ketakwaan Ketika seseorang itu memiliki pondasi ketakwaan kemudian ketakwaan itu mendasari seluruh aktivitas dia.

Di mana esensi takwa itu seperti kata sayidina Ali karamallah wajha, Takwa itu adalah:

  • Al khauf Min rabbil Jalil ketika orang yang bertakwa itu memiliki rasa takut kepada Allah yang Maha Agung;
  •  Al-amalu bitanzil dia menjalankan apa yang Allah turunkan;
  • waridho bilqolil;  dan dia Rida dengan berapapun yang Allah SWT anugerahkan sedikit dia tidak pernah protes, banyak dia syukuri; dan yang keempat kata sayidina Ali
  •  alistiadi min yaumil rauhi;l bersiap untuk hari di mana dia akan meninggalkan semuanya ini meninggalkan dunia meninggalkan semua kehidupan yang sama ini dia lalui

Itu gambaran dari takwa yang menjadi pondasi gambaran takwa yang menjadi dasar karena itu ketika manusia dengan puasa dia meraih ketakwaan seperti tadi kita bisa membayangkan bahwa ketakwaan itu kemudian akan mengarahkan hidupnya dia menjadi jelas.  Min Aina liimaza ila ayna. dari mana Untuk apa dan mau mana dia jelas arahnya dia jelas tujuannya

di dalam ayat yang lain (QS. Al-Baqoroh: 197), Allah menyebutkan:

وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ……

“….Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”

Jadi selain takwa itu menjadi pondasi takwa itu juga menjadi bekal takwa itu menjadi pemandu menjadi penuntun jalan kita kita mau ke mana Ke mana arah hidup kita kita itu dibentuk oleh ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa taala watazawadu faainir Zati Attaqwa sebaik-baiknya bekal itu adalah takwa wattaquun ya Ulil Albab bertakwalah kepadaku Wahai orang-orang yang diberikan akal pikiran


Sahabat Agritusi sekalian yang dimuliakan Allah

Takwa seperti ini itulah yang kemudian dijelaskan oleh Imam Nawawi dengan kalimat yang pendek ketika takwa tadi itu dimanifestasikan di dalam bentuk perbuatan nyata karena takwa kata nabi:

التقوى ههنا. ويشير إلى صدره ثلاث مرات.

“Takwa itu (terletak) di sini”, dan beliau menunjuk ke dada (hati) beliau tiga kali”[HR Muslim (no. 2564); Kitab al-Fawa-id (hal. 185).]


Tetapi meskipun takwa itu ada dalam hati kita, Imam nawawi menjelaskan bahwa manifestasi dari takwa itu adalah Imtitsalu awamirillah wajtinabu nawahihi (menjalankan perintahnya Allah dan meninggalkan larangannya Allah), sehingga ketika orang itu memiliki pondasi takwa, kemudian takwa itu memandu hidupnya maka orang itu akan istiqamah di dalam ketaatan dan ketika dia bisa istiqamah di dalam ketaatan maka hidupnya akan dipenuhi dengan keberkahan. 

Insyaallah, Kita akan bisa menjalankan hidupnya dengan baik dengan sempurna jika pondasi hidupnya adalah ketakwaan pada Allah; jika jalan hidupnya dipandu oleh ketakwaan yang menjadi asasnya, maka takwa itu juga sekaligus menjadi miqyas (standar perbuatan). 

Bayangkan ketika pondasinya ketakwaan dan ketakwaaan ini menjadi miqyasul ammalnya, di mana Imtitsalu awamirillah wajtinabu nawahihi betul-betul diimplementasikan dalam hidupnya maka apa yang akan terjadi? dia akan menjadi seorang muslim, yang tidak hanya untuk dirinya sendiri dengan menjadi orang yang shaleh, tetapi juga dia menjadi seorang yang Muslih; karena dia dengan ketakwaannya, baik untuk dirinya sendiri, dia juga akan berusaha menebarkan kebaikan.  

Itulah manifestasi dari ketakwaan seseorang dan karena itu kemudian hikmah terbesar dari puasa Dengan hadirnya ketakwaan di dalam diri kita itu akan menjadikan kita menjadi orang yang shaleh pada saat yang sama kita menjadi Muslih (orang yang melakukan/menebar kebaikan dan memperbaiki orang lain/Masyarakat).  Itulah yang sebenarnya esensi dari seorang pengemban dakwah, di mana pengemban dakwah itu dia tidak hanya berpikir untuk dirinya dia juga berpikir untuk orang lain dia berpikir untuk umatnya.

 Ibnu Hibban dan ulama lainnya ketika beliau ditanya sebenarnya kita ini dilahirkan untuk siapa? kalau para fuqaha mengatakan bahwa kita ini lahir untuk diri kita; ada menyatakan untuk orang tua kita karena mereka punya hak atas diri kita; tetapi para ahli hadis mengatakan kita ini lahir untuk berkhidmat kepada Islam untuk berkhidmat kepada Allah dan rasulnya.

Seandainya orang yang kehadirannya di muka bumi itu sudah seperti yang dinyatakan di dalam al-qur'an (QS. Ali Imron) : “kalian adalah umat terbaik umat yang dilahirkan untuk umat manusia”; maka dia akan bisa mewujudkan visi misi itu menjadi orang yang shaleh dan menjadi orang yang Muslih pada saat yang sama, dan kemudian dia bisa mewujudkan apa yang menjadi dorongan atau apa menjadi tuntutan dari ketakwaannya tadi karena tidak akan mungkin kalau orang itu memiliki ketakwaan kemudian dia bisa menyembunyikan ketakwaan di dalam hatinya. 

Ibarat ketika dia sudah memiliki mabda yang kemudian mabda itu merasuk di dalam dirinya kemudian terpancar di dalam perilakunya di dalam pikirannya di dalam semua aktivitas atau seluk beluk kehidupannya, maka orang itu akan terus berikhtiar melakukan kebaikan demi kebaikan.  Ketika ketakwaan telah hadir dan bersemayam dalam dirinya maka perkara-perkara yang lainnya itu nanti akan mengikuti dan akan datang.  Tidak mungkin ada kemenangan, tidak mungkin akan ada kemudahan, tanpa didasari dengan ketakwaan.

Ketika Allah bercerita tentang solusi ketika Allah bercerita tentang rezeki Allah memulai dengan kalimat. “Siapa yang bertakwa kepada Allah, Allah pasti akan berikan solusi. Allah akan berikan jalan keluar dan Allah akan berikan Rezeki.”  Hal ini bisa terwujud, jika ketawaan yang prima ini telah hadie bersemayam dalam diri kitan dan menjadi pondasi dan miqyas bagi kehidupannya.

Dari mana bisa mendapatkan takwa itu? Diantaranya adalah melalui riyadah jasadiah dan riyadah ruhiyah.  Latihan secara fisik melalui puasa dan riyadah ruhiyah, karena ibadah ini qimahnya adalah qimah ruhiyah.   Maka dengan qimah ruhiyah tersebut yang dibalut dengan riyadhah jasadi yang tadi di situlah kemudian dihadirkan integrasi antara materi dan roh.  Ketika puasa ini dilakukan karena Allah, maka Rasulullah saw mengatakan: “Ketika dia melaksanakan puasa Ramadan dengan dasar keimanan, kemudian dia lakukan semata-mata karena Allah maka dia akan mendapatkan ampunan dari Allah SWT.  Hal ini bisa dapatikan dari Ramadan kalau caranya ibadah puasa itu kita jalankan dengan sempurna, kalau ibadah puasa itu betul-betul kita hayati kalau ibadah puasa itu betul-betul bukan hanya riyadhah jasadiah tetapi juga riyadhoh ruhiyah. 

Ramadhan menjadi madrasah yang betul-betul mencetak orang-orang yang bertakwa dan mendapatkan hikmah dari Allah SWT dengan hadirnya ketakwaan di dalam diri kita ketakwaan yang akan mengantarkan kita menjadi orang yang shaleh.  Ketakwaan yang akan mengantarkan kita menjadi muslih; Ketakwaan yang akan menjadikan kita menjadi seorang pengemban dakwah yang seutuhnya, dan pengemban dakwah yang bukan hanya menjalankan kewajiban berdakwah, tetapi dia adalah orang yang menjadi contoh dan teladan, Dimana bisa menyelesaikan masalah dirinya dan kemudian dia bisa menyelesaikan masalah orang lain. 

Inilah hakikat dari seorang pengemban dakwah sebagai “rojulun siyasiyun mufakirun” (seorang politikus dan sekaligus seorang pemikir).  Dia bukan hanya mengurusi urusan dirinya tetapi dia sebagai orang yang shaleh dan Muslih, yang mampu memperbaiki keadaan di sekitarnya dan Islam yang diemban, dia kemudian menjadikan islam hidup di tengah-tengah kehidupannya dan itulah yang nanti akan mendatangkan keberkahan.  Semoga Ramadan tahun ini benar-benar bisa menghadirkan ketakwaan yang prima ke dalam diri kita dan kehidupan ini. [AT]


Post a Comment for "Ramadhan: Hadirkan Ketakwaan yang Hakiki dan Prima"